Minggu, 14 Oktober 2012

CERPEN


Ayah Tak Selamanya Ayah
Malam semakin larut, dingin terasa semakin menusuk ke dalam tulang Rayi. Ia menyudut di ujung kamarnya sambil menangis tersedu-sedu karena baru saja ia seperti merasakan pukulan yang sangat keras dari ibunya. Rahasia yang selama ini berusaha ibunya simpan sampai tiba saatnya Rayi kelak tumbuh dewasa, akhirnya harus terungkap secepat itu.
            Namun semua itu memiliki hikmah yang sangat berguna untuk Rayi. Ia sekarang menyadari betapa besarnya kasih sayang seorang ayah yang selama ini telah mengurusnya dari kecil hingga remaja. Bagaimana seorang ayah yang bangga akan segala prestasi Rayi melebihi ia bangga akan anaknya sendiri. Namun, Rayi terkadang berani membantah ayahnya. Padahal ia selalu dibela mati-matian oleh ayahnya. Bahkan ketika ibunya memarahi Rayi, ayahnya akan datang melindunginya dari pukulan kecil ibunya. Pak  Satria, begitulah ayah Rayi kerap dipanggil. Seorang ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya dan Wakinah, cinta pertama yang kini telah menjadi istrinya tersebut. Orangtua yang sangat bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Suami yang bertanggung jawab bagi istrinya, namun sayangnya ia pernah ditinggalkan istri pertamanya yang tidak setia.
            Ayah Rayi baru saja pulang dari rapat besar organisasi kemasyarakatannya. Jam dinding sudah menunjukkan angka dua belas, ayahnya masuk ke rumah setelah di bukakan pintu oleh istrinya.
            “Rayi udah tidur,Kin?” ujar Pak Satria.
            “Nggak tahu aku, Mas. Coba aja lihat Rayi Di kamarnya. Mungkin aja dia belum tidur, soalnya tadi dia menangis karena aku marahi.” Jawab Bu Kinah dengan lembut kepada suaminya.
            “Jangan begitu, Kin. Biasakan membicarakan apapun dengan cara yang lembut, supaya dia tidak sakit hati. Ya udah, aku lihat Rayi di kamarnya dulu.” Ujar Pak Satria.
            Ketika Pak Satria telah berada di depan kamar Rayi, ayah berhenti sejenak dan terdiam. Semakin lama ia berdiri di depan pintu, suara tangisan Rayi semakin jelas terdengar. Pak Satria pun mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamar Rayi.
            “Ternyata anak gadisku masih menangis, sebaiknya aku nggak usah mendekatinya dulu, aku biarkan aja dulu dia sampai tenang.” Gumam Pak Satria.
            Keesokan harinya, Pak Satria menjalani hari-harinya seperti biasa, sebelum berangkat kerja ia terlebih dulu menghantarkan Rayi ke sekolah. Ia berusaha tidah menanyakan apa yang sedang terjadi terhadap anaknya pada malam sebelumnya. Padahal biasanya ia selalu ingin tahu semua tentang kejadian yang dialami anaknya. Namun hal ini cukup membuat posisi Rayi aman, karena kalau sampai ayahnya bertanya tentang kejadian yang sebenarnya, Rayi masih sangat bingung untuk menjawabnya. Di satu sisi Rayi sangat menyayangi ayahnya, namun disisi lain ia harus tetap harus jujur bahwa kini Rayi sebenarnya sudah tahu kalau ia punya ayah kandung seorang dokter gigi yang tinggal di daerah di Sumatera Utara.
            Libur semester telah tiba. Seperti biasanya, Rayi kali ini pulang kampung. Entah kenapa ia tidak memiliki rasa antusias yang tinggi, padahal ia akan bertemu dengan ayahnya. Bahkan ketika benar-benar bertemu dengan ayah kandungnya, Rayi tidak merasakan kebahagiaan yang seharusnya dia rasakan. Dia heran dengan keanehan yang dialaminya tersebut, namun lalu ia berpikir mungkin hal itu disebabkan karena perasaan sayangnya yang terlalu besar terhadap ayah tirinya bahkan jauh dari sebelum ia bertemu dengan ayah kandungnya.
            Merasa penasaran dengan perasaannya sendiri, Rayi mencoba memanja-manjakan dirinya kepada ayah kandungnya. Namun Rayi tetap saja tidak merasakan kasih sayang berarti dari ayah kandungnya. Suatu hari, Rayi diajak oleh ayah kandungnya untuk mengunjungi saudara dari ayah Rayi. Ketika sudah bertemu dengan saudara-saudaranya, Rayi merasa disambut dengan ramah, hanya tetap saja ia merasa lebih dekat dengan keluarga dari ayah tirinya.
            Sudah hampir seminggu Rayi ikut bersama ayah kandungnya yang masih
duda, mereka hidup bersama seorang asisten rumah tangga dan seorang supir pribadi. Rayi merasa dirinya semakin aneh karena ia justru lebih nyaman hidup dengan penuh keadaan bersama ayah tirinya. Pergi diantar ayahnya. Yang biasa mengambil rapor ayahnya. Dengan begitu ia akan merasa lebih diperhatikan, berbanding terbalik ketika ia ikut dengan ayah kandungnya yang hidup dengan penuh kesibukan. Pasti akan sangat sulit untuk meminta waktu ayahnya untuk sekedar melayani Rayi untuk melakukan hal-hal kecil yang bisa ayah tirinya berikan. Kini baru Rayi mengerti hikmah dari rangkaian kejadian-kejadian yang dialami  dalam hidupnya.
            Sembilan hari sudah Rayi dan ibunya berada di kampungnya. Kini saatnya Rayi dan ibunya pulang kembali ke kota Lhok Nga. Rayi meminta ayahnya menghantarkan mereka sampai ke bandara, namun ayahnya tidak bisa mengahantarkannya ke bandara. Ayahnya hanya mengirimkan supir pribadinya untuk menghantarkan mereka ke bandara.
            “Wah, ayahku kini adalah seorang supir,Bu.”
            “Haha... Bagaimana? Rayi nyaman ikut siapa sekarang?”
            “Kok ditanya lagi, Bu. Yang jelas Rayi nngak mau ikut dengan supir kemana-mana. Rayi inginkan ayah yang selalu menemani Rayi dan kasih sayangnya lebih Rayi rasakan,Bu.”
            Bu Kinah hanya tersenyum mendengar tanggapan anaknya. Namun beliau sangat lega karena akhirnya Rayi bisa memahami apa tujuan ibunya mengambil sikap secepat itu untuk menyampaikan hal yang sebenarnya mengenai ayah Rayi.





Unsur-unsur Intrinsik Cerpen:
ü  Tokoh dan perwatakan
®    Pak Satria berwatak baik, perhatian, dan bertanggung jawab;
®    Bu Wakinah berwatak baik, lembut, dan tegas;
®    Rayi berwatak baik, kuat, dan pintar;
®    Ayah kandung Rayi berwatak kurang penyayang, kurang peduli, dan egois.
ü  Alur cerita
®    Alur maju
ü  Latar
®    Latar tempat: Lhok Nga dan Sumatera Utara;
®    Latar Waktu: Beberapa hari sebelum Hari Libur Semester dan ketika Hari Libur Semester.

ü  Amanat
®    Marilah kita lebih menghargai dan menghormati orangtua kita, baik orangtua kandung maupun orangtua tiri, karena kasih sayang mereka kepada kita yang besar.