RAYI HASMI
selalu belajar dan belajar dalam segala hal :)
Jumat, 02 November 2012
Minggu, 14 Oktober 2012
CERPEN
Ayah Tak Selamanya Ayah
Malam
semakin larut, dingin terasa semakin menusuk ke dalam tulang Rayi. Ia menyudut
di ujung kamarnya sambil menangis tersedu-sedu karena baru saja ia seperti
merasakan pukulan yang sangat keras dari ibunya. Rahasia yang selama ini
berusaha ibunya simpan sampai tiba saatnya Rayi kelak tumbuh dewasa, akhirnya
harus terungkap secepat itu.
Namun semua itu memiliki hikmah yang
sangat berguna untuk Rayi. Ia sekarang menyadari betapa besarnya kasih sayang seorang
ayah yang selama ini telah mengurusnya dari kecil hingga remaja. Bagaimana
seorang ayah yang bangga akan segala prestasi Rayi melebihi ia bangga akan
anaknya sendiri. Namun, Rayi terkadang berani membantah ayahnya. Padahal ia selalu
dibela mati-matian oleh ayahnya. Bahkan ketika ibunya memarahi Rayi, ayahnya
akan datang melindunginya dari pukulan kecil ibunya. Pak Satria, begitulah ayah Rayi kerap dipanggil.
Seorang ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya dan Wakinah, cinta pertama
yang kini telah menjadi istrinya tersebut. Orangtua yang sangat bekerja keras
untuk menghidupi keluarganya. Suami yang bertanggung jawab bagi istrinya, namun
sayangnya ia pernah ditinggalkan istri pertamanya yang tidak setia.
Ayah Rayi baru saja pulang dari
rapat besar organisasi kemasyarakatannya. Jam dinding sudah menunjukkan angka
dua belas, ayahnya masuk ke rumah setelah di bukakan pintu oleh istrinya.
“Rayi udah tidur,Kin?” ujar Pak
Satria.
“Nggak tahu aku, Mas. Coba aja lihat
Rayi Di kamarnya. Mungkin aja dia belum tidur, soalnya tadi dia menangis karena
aku marahi.” Jawab Bu Kinah dengan lembut kepada suaminya.
“Jangan begitu, Kin. Biasakan
membicarakan apapun dengan cara yang lembut, supaya dia tidak sakit hati. Ya
udah, aku lihat Rayi di kamarnya dulu.” Ujar Pak Satria.
Ketika Pak Satria telah berada di
depan kamar Rayi, ayah berhenti sejenak dan terdiam. Semakin lama ia berdiri di
depan pintu, suara tangisan Rayi semakin jelas terdengar. Pak Satria pun
mengurungkan niatnya untuk masuk ke kamar Rayi.
“Ternyata anak gadisku masih
menangis, sebaiknya aku nggak usah mendekatinya dulu, aku biarkan aja dulu dia
sampai tenang.” Gumam Pak Satria.
Keesokan harinya, Pak Satria
menjalani hari-harinya seperti biasa, sebelum berangkat kerja ia terlebih dulu menghantarkan
Rayi ke sekolah. Ia berusaha tidah menanyakan apa yang sedang terjadi terhadap
anaknya pada malam sebelumnya. Padahal biasanya ia selalu ingin tahu semua
tentang kejadian yang dialami anaknya. Namun hal ini cukup membuat posisi Rayi
aman, karena kalau sampai ayahnya bertanya tentang kejadian yang sebenarnya,
Rayi masih sangat bingung untuk menjawabnya. Di satu sisi Rayi sangat
menyayangi ayahnya, namun disisi lain ia harus tetap harus jujur bahwa kini
Rayi sebenarnya sudah tahu kalau ia punya ayah kandung seorang dokter gigi yang
tinggal di daerah di Sumatera Utara.
Libur semester telah tiba. Seperti
biasanya, Rayi kali ini pulang kampung. Entah kenapa ia tidak memiliki rasa
antusias yang tinggi, padahal ia akan bertemu dengan ayahnya. Bahkan ketika
benar-benar bertemu dengan ayah kandungnya, Rayi tidak merasakan kebahagiaan
yang seharusnya dia rasakan. Dia heran dengan keanehan yang dialaminya
tersebut, namun lalu ia berpikir mungkin hal itu disebabkan karena perasaan
sayangnya yang terlalu besar terhadap ayah tirinya bahkan jauh dari sebelum ia
bertemu dengan ayah kandungnya.
Merasa penasaran dengan perasaannya
sendiri, Rayi mencoba memanja-manjakan dirinya kepada ayah kandungnya. Namun
Rayi tetap saja tidak merasakan kasih sayang berarti dari ayah kandungnya.
Suatu hari, Rayi diajak oleh ayah kandungnya untuk mengunjungi saudara dari
ayah Rayi. Ketika sudah bertemu dengan saudara-saudaranya, Rayi merasa disambut
dengan ramah, hanya tetap saja ia merasa lebih dekat dengan keluarga dari ayah
tirinya.
Sudah hampir seminggu Rayi ikut
bersama ayah kandungnya yang masih
duda, mereka
hidup bersama seorang asisten rumah tangga dan seorang supir pribadi. Rayi
merasa dirinya semakin aneh karena ia justru lebih nyaman hidup dengan penuh
keadaan bersama ayah tirinya. Pergi diantar ayahnya. Yang biasa mengambil rapor
ayahnya. Dengan begitu ia akan merasa lebih diperhatikan, berbanding terbalik
ketika ia ikut dengan ayah kandungnya yang hidup dengan penuh kesibukan. Pasti
akan sangat sulit untuk meminta waktu ayahnya untuk sekedar melayani Rayi untuk
melakukan hal-hal kecil yang bisa ayah tirinya berikan. Kini baru Rayi mengerti
hikmah dari rangkaian kejadian-kejadian yang dialami dalam hidupnya.
Sembilan hari sudah Rayi dan ibunya
berada di kampungnya. Kini saatnya Rayi dan ibunya pulang kembali ke kota Lhok
Nga. Rayi meminta ayahnya menghantarkan mereka sampai ke bandara, namun ayahnya
tidak bisa mengahantarkannya ke bandara. Ayahnya hanya mengirimkan supir
pribadinya untuk menghantarkan mereka ke bandara.
“Wah, ayahku kini adalah seorang
supir,Bu.”
“Haha... Bagaimana? Rayi nyaman ikut
siapa sekarang?”
“Kok ditanya lagi, Bu. Yang jelas
Rayi nngak mau ikut dengan supir kemana-mana. Rayi inginkan ayah yang selalu
menemani Rayi dan kasih sayangnya lebih Rayi rasakan,Bu.”
Bu Kinah hanya tersenyum mendengar
tanggapan anaknya. Namun beliau sangat lega karena akhirnya Rayi bisa memahami
apa tujuan ibunya mengambil sikap secepat itu untuk menyampaikan hal yang
sebenarnya mengenai ayah Rayi.
Unsur-unsur Intrinsik
Cerpen:
ü Tokoh dan perwatakan
® Pak Satria
berwatak baik, perhatian, dan bertanggung jawab;
® Bu Wakinah
berwatak baik, lembut, dan tegas;
® Rayi
berwatak baik, kuat, dan pintar;
® Ayah kandung
Rayi berwatak kurang penyayang, kurang peduli, dan egois.
ü Alur cerita
® Alur maju
ü Latar
® Latar
tempat: Lhok Nga dan Sumatera Utara;
® Latar Waktu:
Beberapa hari sebelum Hari Libur Semester dan ketika Hari Libur Semester.
ü Amanat
® Marilah kita
lebih menghargai dan menghormati orangtua kita, baik orangtua kandung maupun
orangtua tiri, karena kasih sayang mereka kepada kita yang besar.
Langganan:
Postingan (Atom)